Cina memasuki abad 21 ini diprediksi oleh banyak kalangan elit tengah menggeliat mulai menjadi bangsa yang kaya/makmur. Proses ini tidak berlangsung mulus dan laksana perjalanan mendaki gunung ada jatuh bangunnya ketika menyadari bahwa rakyatnya juga mendambakan sejahtera/makmur.
Ketika Deng Xiaoping, salah satu tokoh besar abad 20 semasa hidupnya pernah mengungkapkan bahwa bagi bangsa Cina menjadi kaya secara terhormat bukanlah dosa.
Banyak pengamat yang waktu itu heran mengapa justru di negara Cina yang belum mantap ekonomi pasar sosialis ungkapan demikian muncul. Belum lagi masuknya era informasi dengan kehebatan teknologi informasi, teknologi proses dan pembangunan infrastruktur manusia, pengetahuan dan fisik yang ikut membuka “tirai bamboo” Cina.
Upaya memahami budaya Cina, dan alasan mengapa dia di permukaan seperti itu, tidak akan diperoleh hanya dengan satu kali analisis sederhana saja. Setiap individu juga di Cina memiliki perspektif pemikiran yang berbeda, yang berdampak pada pola pemahaman, konseptualisasi dan aktualisasi diri.
Setiap kali kita membahas dan menganalisis budaya Cina, selalu mempunyai daya tarik tersendiri. Itu wajar saja, karena budaya Cina merupakan salah satu budaya tertua di dunia. Apakah dasar dasar budaya masih mengakar kuat atau mengalami kemandekan dalam benak pikiran manusia Cina ? Apakah hal ini karena dampak modernisasi sebagai akibat kemajuan teknologi informasi, pembangunan infrastruktur fisik jalanan, pelabuhan dan sarana transpotasi yang makin maju.
Dengan memahami arah gejala (trend) tersebut, muncul pertanyaan bagaimana hakikat wawasan budaya China dengan menjadi kaya atau kemakmuran individual ? Apakah ajaran kuno Konfusius masih dihayati atau tidak demikian mendalamnya budaya itu? Atau cara pandang manusia Cina secara individual mengalami erosi dalam memandang “menjadi kaya secara cultural”?
Konfusius sebagai filsuf agung adalah pemikir orisinal, dan seluruh pemikirannya diarahkan pada sikap atau perilaku yang tepat (right conduct). Mengenai sikap menjadi kaya atau menggapai kemakmuran (wealth), Konfusius menyatakan bahwa “..kemakmuran dan kehormatan merupakan hasrat setiap manusia. Tetapi, kalau keduanya diperoleh secara tidak wajar, maka keduanya tidak patut dimiliki lebih lanjut…”
Tiada manusia yang unggul kalau ia tidak memiliki “sensitivitas sosial…” Selanjutnya ia menegaskan bahwa apa yang membuat seorang unggul adalah melalui upaya pengembangan diri dengan wawasan untuk membantu orang lain atau bahkan membantu setiap orang (self-cultiviation with a view to helping others and further everybody).
Wawasan ini sesungguhnya merupakan solidaritas sosial yang dikenal dan dihayati oleh manusia sepanjang zaman sampai kini. Dizaman kuno, menurut tradisi Konfusius, terdapat empat kedudukan utama dalam masyarakat Cina dengan urutan dan keutamaan, sebagai berikut :
1. kelompok terpelajar, terutama guru pengajar (scholars, including teachers)
2. kelompok petani (peasants)
3. kelompok pengrajin dan buruh (artisans and laborers)
4. kelompok pedagang (merchants/ traders)
Zaman dulu dalam kelompok terpelajar termasuk tuan tanah, karena dengan posisi keuangannya mereka mempunyai banyak waktu untuk mendalami sastra kuno dan seni kaligrafi. Bagi masyarakat Cina kuno, pendidikan dan kedudukan dalam pemerintahan mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan harta kekayaan.
Zaman itu, kelompok pedagang tidak pernah dinilai setaraf dngan kelompok terpelajar yang terhormat dan memiliki akses pada kemakmuran dan uang yang terhormat pula.
Kalau kita mengkaji sejarah Cina, maka sejarah politik dan sosialnya yang penuh kekalutan (turmoils), telah membentuk suatu sikap praktis yang keras, yang dapat disarikan dalam system nilai bertahan hidup (life-raft values) dalam segala kondisi dan cuaca, yaitu :
1. sikap hemat memastikan ketahanan hidup (survival)
2. tingkat menabung yang tinggi yang bahkan tak masuk akal, sekalipun adanya kebutuhan mendesak
3. kerja keras sampai kehabisan nafas untuk melawan hambatan yang ada dalam dunia yang tidak dapat diprediksi (uunpredictable world)
4. orang yang dapat dipercayai adalah dari lingkungan keluarga dan
5. kepatuhan pada kepala keluarga dan selalu bersiap setiap saat untuk memiliki daya tahan yang kuat
Demikian secuil sejarah panjang budaya Cina yang melekat pada bangsa Cina dalam perjalanan sejarahnya.
Kembali pada era yang baru sejak Deng berkuasa yaitu awal tahun 1980an yang berarti baru 20 tahunan memasuki ekonomi pasar sosialis membawa konsekuensi bagi penduduknya. Suatu perombakan radikal dalam pola pikir rakyat Cina.
Hanya dalam waktu 20 tahunan, Cina telah beralih dari suatu masyarakat yang non materialis (non materialist society) yang dikekang oleh prinsip prinsip ideologi (eranya pra Deng Xiaoping), menjadi suatu masyarakat yang materialis yang digerakkan oleh nilai nilai konsumsi berlebihan (conspicuous consumption).
Memang rakyat Cina tidak hanya di kawasan Pantai tetapi sampai kepedalaman yang berupaya ikut menikmatinya.
Mereka tidak mau ketinggalan dalam upaya mencapai kemakmuran individual sekalipun karena gerakan yang demikian cepatnya kadang kadang membawa kejutan budaya dalam arti makin menipisnya pegangan spiritual (spiritual civilization).
Dalam proses menjadi kaya/makmur, tetap ada penyelewengan korupsi yang terjadi dan rakyat serta pemerintah Cina tidak menutup mata tetapi tegas menghadapi penyelewengan dan menghukum setimpal tanpa ragu ragu.
Karena itu kita dalam meneropong realita tersebut, jangan emosional membenci, iri, dengki dan menilai hanya yang negatif saja dengan perilaku diantara kita yang tercela, tidak tahu malu, tetapi secara obyektif mengikuti proses tersebut diatas.
Mereka yang di Cina berbeda banyak dengan yang di luar Cina dalam perilaku, sikap dan dalam pola pikir sebagai wujud budaya.
Sumber : http://iccsg.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar